statement trading

statement trading
ini adalah hasil live trading EA saya.hasil trading 10% tiap bulan untuk posisi aman, bisa smpe 20-30% untuk posisi spekulasi.jika ada yg berminat contact saya di 085649238006.
Program Affiliate Indowebmaker
InstaForex
gps forex robot

trading free $100 no deposit

DAFTAR ROBO FOREX, GRATIS $15

masukkan kode referal:" ybu " jika keberatan silahkan dikosongin aja

MARKETIVA

MARKETIVA
untuk pendaftaran klik gambar diatas dan untuk mendapatkan kupon silahkan kirim email ke saifudinzuhri32@yahoo.co.id

tempat penukaran uang terpercaya

daftar libertyreserve

SIGNAL FOREX HARI INI


Powered by GainScope.com - Forex

download gratis dapat uang

payooner

ini adalah perusahaan yang menjual produk ksehatan.dengan daftar disini,kita akan dapat kartu kredit payooner gratis langsung di kirim kerumah kita.silahkan mencoba saya sudah mendapatkan kiriman kartu kreditnya.kegunaan kartu kredit tersebut dapat kita gunakan untuk mengaktifkan rekening paypal. silahkan klik dibawah ini.

Minggu, 13 Juni 2010

karl marx

Bab I: Barang-dagangan
1. Dua faktor barang-dagangan: nilai pakai dan nilai (substansi nilai dan besaran nilai)
Kekayaan masyarakat di mana cara produksi kapitalis berkuasa, tercermin dari adanya "Suatu akumulasi barang-dagangan yang sangat luas atau besar,"1) sedangkan satuannya dihitung berdasarkan per buah barang-dagangan. Oleh karena itu penelaahan kita harus mulai dengan analisa terhadap barang-dagangan.
Barang-dagangan,dilihat dari tempatnya, pertama-tama adalah suatu obyek/benda yang berada di luar kita, sesuatu, yang karena sifat dan caranya, dapat memuaskan kebutuhan manusia. Tidak menjadi soal2) apakah sifat kebutuhan tersebut berasal dari perut atau pun fantasi. Tidak dipersoalkan juga bagaimana caranya kebutuhan-kebutuhan terpuaskan oleh obyek tersebut, apakah secara langsung seperti terhadap kebutuhan subsistensi, atau pun secara tidak langsung seperti oleh alat-alat produksi.
Tiap-tiap barang yang berguna, seperti besi, kertas dan sebagainya, seharusnya dipandang dari dua segi, yakni segi kualitas dan kuantitas. Barang-barang tersebut merangkum berbagai sifat, oleh karena itu barang-barang tersebut dapat digunakan dalam berbagai cara. Menemukan berbagai kegunaan barang-barang tersebut merupakan kerja/karya yang bersejarah.3) Demikian juga bila menemukan standar ukuran (perhitungan kuantitas) sosial kegunaan obyek-obyek tersebut (dalam sifatnya), atau pun karena kebiasaan-kebiasaan (persetujuan sosial).
Kegunaan suatu barang menyebabkan barang tersebut memiliki nilai pakai.4) Namun pengertian kegunaan tersebut tidak bisa diterapkan pada barang seperti udara. Karena barang-dagangan ditentukan oleh sifat fisiknya, ia tidak akan memiliki eksistensi bila tanpa badan fisiknya (berujud). Oleh karena itu, barang-dagangan seperti besi, gandum, intan, dan sebagainya, sejauh sesuatu yang sifatnya material, adalah juga nilai pakai, sesuatu yang memiliki kegunaan. Sifat barang-dagangan tersebut tidak tergantung dari kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas kegunaannya. Bila berbicara tentang nilai pakai, kita selalu mengasumsikannya dengan sejumlah kuantitas tertentu, misalnya lusin untuk jam, yard untuk kain, ton untuk besi dan seterusnya. Nilai pakai-nilai pakai barang-dagangan melengkapi sifat materialnya, yang berguna bagi keperluan studi tertentu yakni guna pengetahuan tentang sifat komersil barang-dagangan.5) Nilai-pakai menjadi kenyataan hanya bila telah digunakan atau dikonsumsi; nilai-pakai merupakan tolok ukur substansi kesejahteraan, apapun bentuk sosialnya. Di dalam bentuk masyarakat yang kita amati, nilai-pakai merupakan perangkum sifat material dari nilai tukar. Nilai tukar, pada pandangan pertama, merupakan cermin dari hubungan kuantitas, sebagai proporsi di mana nilai-pakai suatu jenis barang dipertukarkan dengan nilai-pakai jenis barang lainnya,6) suatu hubungan yang selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Oleh karena itu, nilai-tukar muncul sebagai sesuatu yang kebetulan dan relatif semata-mata, dan akibatnya nilai yang intrinsik dan bersenyawa dengan barang-dagangan nampaknya berada dalam posisi contradictio in adjectio (contradiction in terms)7). Mari kita lihat dengan lebih mendalam.
Sejumlah barang-dagangan tertentu, misalnya, seperempat kilo gandum dipertukarkan dengan x semir sepatu, y sutra, atau z emas dan sebagainya-singkatnya dipertukarkan dengan barang-dagangan lain dalam proporsi yang sangat berbeda. Dengan demikian gandum tidak hanya memiliki satu nilai tukar, tapi banyak nilai tukar. Tetapi oleh karena x semir sepatu, demikian juga y sutra, atau z emas merupakan nilai tukar dari seperempat kilo gandum, maka x semir sepatu, y sutra, z emas haruslah memiliki nilai tukar yang dapat saling menggantikan satu atau sama lainnya. Oleh karena itu, nilai tukar yang valid (absah) bagi suatu barang-dagangan tertentu haruslah menyatakan kesamaannya; kedua, nilai tukar pada umumnya merupakan suatu cata pernyataan tertentu, bentuk perwujudan tertentu, dari apa yang terkandung di dalamnya, yang dapat saling membedakan.
Selanjutnya ambillah dua contoh barang-dagangan, gandum dan besi. Apa pun proporsi hubungan pertukarannya, ia tetap dapat digambarkan dalam suatu persamaan, di mana sejumlah gandum disamakan dengan sejumlah besi, misalnya seperempat kilo gandum = 100 pon besi. Apa yang bisa dikatakan oleh persamaan tersebut? Apa yang dapat kita pahami dari persamaan tersebut adalah, bahwa dalam dua barang yang berbeda-seperempat kilo gandum dan 100 pon besi-terdapat kesamaan kuantitas yang umum bagi keduanya. Oleh karena itu dua benda harus dapat disamakan dengan benda ketiga, simultan, bukan hanya benda-benda tertentu saja. Masing-masing dari kedua benda tersebut, selama merupakan nilai-tukar, harus dapat direduksi menjadi sama dengan benda yang ketiga.
Suatu contoh geometris yang sederhana akan memperjelas persoalan tersebut. Untuk menghitung dan membandingkan luas semua bentuk garis lurus, kita harus memilah-milahnya dalam segitiga-segitiga. Akan tetapi luas segitiga tersebut harus dinyatakan menjadi sama sekali berbeda dari bentuknya yang kelihatan, yakni, setengah dari hasil perkalian alas dengan tingginya. Demikian juga nilai tukar barang-dagangan harus dapat dinyatakan dan direduksi ke sesuatu yang umum (semuanya harus dapat mewakili masing-masingnya), mereka harus dapat menggambarkan nilai yang lebih kecil atau lebih besar.
Namun sifat umum tersebut bukanlah merupakan sifat geometris, kimia, atau sifat-sifat badaniah tersebut akan menjadi perhatian kita selama dapat memberikan kegunaan (nilai-pakai) terhadap barang-dagangan. Namun pada kenyataannya pertukaran, di segi lainnya, merupakan suatu tindakan yang memiliki karakterisasi sebagai abstraksi nilai pakai barang-dagangan. Satu nilai-pakai akan memiliki kesamaan dengan nilai-pakai lainnya selama mereka berada dalam perbandingan yang selayaknya. Atau, seperti yang dikatakan oleh si tua Barbon, "Suatu macam barang yang satu sama baik seperti yang lainnya, jika nilai-tukarnya sama. Karena tidak ada yang dapat membedakan barang-barang yang nilai-tukarnya sama."8) Sebagai nilai-pakai, barang-dagangan haruslah memiliki makna kualitas yang berbeda, oleh karena itu tidak mengandung satu atom pun nilai-pakai.
Jika kita mengabaikan nilai-pakai barang-dagangan dalam pertimbangan kita, maka hanya tinggal satu sifat yang ada padanya, yaitu hasil tenaga kerja. Namun bahkan hasil kerja tersebut telah mengalami perubahan di tangan kita. Bila kita mengabstraksi nilai-pakai barang-dagangan, pada saat yang sama juga kita mengabstraksi komponen dan bentuk badaniah yang membuatnya memiliki nilai-pakai; kita tidak lagi menyebutnya meja, rumah, benang, atau barang lainnya yang memiliki kegunaan. Semua keberadaan materialnya menghilang. Juga tidak dapat lagi dikatakan sebagai hasil kerja tukang kayu, tukang bangunan, pemintal, atau hasil kerja produktif lainnya. Bila kita melenyapkan kualitas kegunaan hasil produksi maka sekaligus kita melenyapkan pula karakter kegunaan berbagai jenis kerja yang tersimpan di dalamnya, dan juga melenyapkan bentuk konkrit bermacam-macam kerja tersebut; hasil produksi tersebut tidak lagi saling membedakan; semuanya direduksi menjadi hasil kerja yang sama, kerja manusia yang abstrak.
Marilah kita lihat apa yang tersisa dari hasil-hasil produksi tersebut; tak ada yang tersisa selain daripada realitas abstrak yang sama, suatu pembekuan belaka dari kerja manusia yang tak memiliki perbedaan, yakni tenaga kerja manusia yang dikeluarkan--dengan mengesampingkan cara bagaimana tenaga kerja itu dikeluarkan. Dalam barang-barang tersebut tersimpan tenaga kerja, yakni terdapat timbunan tenaga kerja manusia di dalamnya. Bila dilihat sebagai kristalisasi substansi sosial, maka kesamaan yang ada pada mereka adalah: nilai.
Di dalam hubungan pertukaran barang-dagangan, nilai-tukar mereka sama sekali tidak tergantung kepada nilai-pakai mereka, itu yang telah kita lihat. Jika kita sekarang mengabstraksikan dari nilai-pakai mereka, maka kita akan mendapatkan nilai mereka seperti yang telah didefinisikan di atas. Oleh karena itu, substansi umum yang terwujud dalam nilai-tukar barang-dagangan, di mana pun mereka dipertukarkan, adalah nilai mereka. Proses penyelidikan lebih lanjut akan menunjukkan bahwa nilai-tukar adalah satu-satunya bentuk di mana nilai barang-dagangan dapat mewujudkan atau mengekspresikan diri. Sekarang, bagaimana pun juga, kita harus mempertimbangkan hakikat nilai yang tidak tergantung dari bendanya.
Suatu nilai-pakai, atau kegunaan benda, oleh karenanya, hanya mempunyai nilai karenanya, hanya mempunyai nilai karena kerja manusia abstrak telah dibekukan atau dimaterialkan ke dalam benda tersebut. Sekarang bagaimana kita mengukur besaran nilainya? Jawabannya, dengan jumlah "substansi pembentuk nilai" yang terkandung di dalamnya, yakni kerja. Jumlah kerja diukur dengan waktu berlangsungnya (lama kerja), dan waktu kerja tersebut memiliki standarnya, misalnya minggu, hari, jam dan seterusnya.
Orang-orang mungkin berfikir bahwa jika nilai suatu barang-dagangan itu ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang dikeluarkan untuk memproduksinya, maka semakin malas atau tidak cakapnya seseorang, semakin bernilailah barang-dagangan tersebut, karena makin lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Kerja, bagaimanapun juga, yang membentuk substansi nilai, adalah kerja manusia yang sama, pengeluaran tenaga kerja yang seragam. Jumlah tenaga kerja keseluruhan masyarakat, yang membentuk jumlah nilai total barang-dagangan yang diproduksi oleh masyarakat, dihitung sebagai tenaga kerja massal manusia yang sama, meskipun terdiri dari tenaga kerja perseorangan yang tak terhitung. Setiap tenaga kerja perseorangan tersebut sama dengan tenaga kerja perseorangan lainnya, selama memiliki karakter sebagai tenaga kerja rata-rata masyarakat, dan berfungsi seperti itu (memiliki dampak/akibat terhadap tenaga kerja rata-rata masyarakat); yaitu, tak ada perhitungan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi barang-dagangan selain daripada kebutuhan waktu rata-rata, apa yang disebut waktu yang dubutuhkan secara sosial. Waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial adalah waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu benda dengan syarat-syarat produksi yang normal, serta dengan derajat kecakapan dan intensitas kerja yang lazim. Misalnya di Inggris, setelah digunakan mesin tenun uap untuk merubah sejumlah benang menjadi kain, maka kebutuhan waktu kerja hanyalah tinggal separuh dari yang sebelumnya. Pada kenyataannya tukang tenun bekerja atau membutuhkan waktu kerja yang sama dari yang sebelumnya. Pada kenyataannya tukang tenun bekerja atau membutuhkan waktu kerja yang sema dari yang sebelumnya; tetapi hasil per jam kerjanya kini hanya separuh dari per jam kerja sosial, oleh karenanya berkurang separuh dari nilai yang dahulu.
Jadi, hanya jumlah jam kerja yang dibutuhkan secara sosiallah (the labour time socially necessary) yang menentukan besaran nilai suatu benda, atau jam kerja yang dibutuhkan secara sosial untuk memproduksi sesuatu.9) Dalam hal ini, setiap satuan barang-dagangan dinilai sebagai sampel rata-rata yang mewakili jenisnya (klasnya).10) Oleh karenanya, barang-dagangan, di mana di dalamnya mengandung jumlah kerja yang sama, atau yang dapat dihasilkan dalam waktu yang sama, memiliki nilai yang sama. Nilai satu barang-dagangan lainnya dapat dikatakan sebagai hubungan di mana satu sama lainnya memiliki jam kerja yang dubutuhkan untuk memproduksinya. "Sebagai nilai-nilai, semua barang-dagangan hanyalah merupakan ukuran jam kerja yang telah dibekukan atau dimaterialkan."11)
Jadi nilai suatu barang-dagangan akan tetap bila jam kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya juga tetap. Akan tetapi jam kerja berubah sesuai dengan produktifitas kerja. Produktifitas tersebut ditentukan oleh berbagai situasi, di antaranya, oleh derajat kecakapan rata-rata para pekerja, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tingkat aplikasi praktisnya, organisasi sosial produksi, luas dan kemampuan alat-alat produksi, dan kondisi alam. Sebagai contoh, dengan jam kerja yang sama, pada musim yang baik dapat dihasilkan 8 gantang gandum, namun pada yang tidak baik hanya dapat dihasilkan 4 gantang. Karena logam yang dikandungnya berbeda di dua daerah, maka jam kerja yang sama akan menghasilkan jumlah logam yang berbeda. Intan adalah benda yang jarang dipermukaan bumi ini, oleh karena itu akan lebih banyak mengeluarkan waktu kerja untuk mendapatkannya. Oleh karenanya di dalam volume yang kecil mereka menyatakan waktu kerja yang banyak. Jacob meragukan bahwa emas pada suatu saat akan dibayar dengan nilainya yang penuh. Apalagi intan, menurut Eschwege, selama 80 tahun penggaliannya (berakhir tahun 1823) intan Brazilia belum bisa mencapai harga 1½ tahun produk rata-rata perkebunan gula atau kopi Brazilia, meskipun lebih banyak mencurahkan kerja, atau mencurahkan lebih banyak nilai. Dalam tambang yang kaya, jumlah kerja yang sama akan menghasilkan lebih banyak intan, dan nilainya akan merosot. Bila kita berhasil mengubah batu bara menjadi intan, maka nilainya akan di bawah nilai batu bara. Secara umum, makin besar produktivitas kerja maka makin sedikit waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu barang, makin sedikit jumlah kerja yang membeku (dikristalkan) dalam satu barang maka makin kecil pula nilainya; sebaliknya, makin kecil produktivitas kerja maka makin besar waktu kerja yang dubutuhkan untuk menghasilkan satu barang, dan nilainya akan makin besar. Besaran nilai suatu barang demikian berubah berbanding langsung dengan jumlah kerja dan berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang tergabung di dalamnya.
Suatu benda bisa memiliki nilai-pakai, tanpa memiliki nilai. Hal ini bisa terjadi jika kegunaannya bagi manusia bukan dikarenakan kerja (tidak dihubungkan dengan kerja). Misalnya udara, tanah perawan, padang rumput alami, dan sebagainya. Satu benda bisa saja memiliki kegunaan, dan merupakan hasil kerja manusia, namun tidak bisa disebut barang-dagangan. Siapa saja yang memenuhi kebutuhannya sendiri dengan hasil kerjanya sendiri memang menciptakan nilai-pakai, namun bukan menghasilkan barang-dagangan. Untuk menghasilkan barang-dagangan, seseorang tidak saja harus menghasilkan nilai-pakai, tapi nilai-pakai untuk orang lain, nilai-pakai sosial. (Dan sama sekali bukan hanya "untuk orang lain.: Petani abad pertengahan juga menghasilkan pajak padi-padian persepuluh untuk pendeta (Zentkorn). Tetapi kedua jenis pajak tersebut tidak bisa disebut barang-dagangan persyaratannya adalah, pertama, harus dihasilkan untuk orang lain, kedua, memiliki nilai-pakai, dan ketiga, dialihkan melalui pertukaran.12) Yang terakhir, tak satu pun bisa memiliki nilai, tanpa menjadi obyek kegunaan (tanpa merupakan yang dapat dipakai). Bila sesuatu benda kehilangan gunanya, maka demikian pula kerja yang terkandung di dalamnya; kerja tersebut tidak bisa dihitung sebagai kerja yang menghasilkan nilai.
Bagian II: Watak Rangkap Kerja yang Terkandung dalam Barang-dagangan
Mula-mula barang-dagangan memberikan gambaran kepada kita sebagai dua hal yang kompleks-sebagai nilai-pakai dan nilai-tukar. Kemudian, kita juga melihat bahwa kerja memiliki dua hakikat rangkap; selama kerja itu dinyatakan dalam nilai, ia tidak memiliki watak yang sama sebagai penghasil nilai-pakai. Pertama-tama saya harus membuktikan dan menguji secara kritis hakikat rangkap kerja yang terkandung dalam barang-dagangan. Oleh karena pemahaman terhadap hal tersebut merupakan titik tolak untuk mengerti ruang lingkup ekonomi politik, maka kharus lebih jauh mengerti detilnya.
Ambil misalnya dua contoh barang-dagangan, 1 jas dan 10 ello (yard) kain lena. Bila jas nilainya dua kali lipat kain lena, maka 1 jas = 2 W, dan 10 ello kain lena = W.
Jas memiliki nilai-pakai karena dapat memuaskan kebutuhan tertentu. Keberadaannya merupakan hasil dari jenis aktivitas produktif tertentu (untuk menghasilkannya diperlukan satu aktivitas produktif tertentu), hakikatnya ditentukan oleh tujuannya, cara pelaksanaannya, bendanya, alat-alat produksinya, atau karena nyatanya hasil produksi tersebut memiliki nilai-pakai, kita namakan kerja yang berguna. Dalam hal ini, kita hanya akan menganalisanya selama ia memiliki dampak kegunaan.
Jas dan kain lena, secara kualitas, memiliki nilai-pakai yang berbeda, demikian juga dua bentuk kerja yang menghasilkannya, penjahit dan penenun. Seandainya barang-barang tersebut, secara kualitatif, tidak memiliki nilai-pakai yang berbeda, sehingga dengan demikian juga bukan merupakan hasil produksi kerja dengan kualitas yang berbeda, maka mereka tidak mungkin dapat berhadapan/berhubungan sebagai barang-dagangan. Jas tidak ditukar dengan jas juga; satu nilai-pakai tidak akan ditukar dengan nilai-pakai yang sejenis.
Di dalam berbagai macam nilai-pakai terkandung berbagai macam kerja yang berguna, yang dibedakan menurut tatanannya, golongannya, jenis keluarganya dan macamnya, semuanya disebabkan karena adanya pembagian kerja sosial. Pembagian kerja tersebut merupakan syarat yang dubutuhkan untuk menghasilkan barang-dagangan, namun sebaliknya, produksi barang-dagangan bukan merupakan syarat bagi adanya pembagian kerja. Di dalam komunitas masyarakat India kuno sudah terdapat pembagian kerja sosial, namun tak ada yang namanya produksi barang-dagangan. Contoh yang lebih dekat ada dalam pabrik, kerja telah terbagi secara sostematis, tetapi pembagian kerja tersebut tidak menyebabkan kaum buruh menukarkan hasil produksi perseorangannya. Hasil produksi dapat dikatakan barang-dagangan, yang merupakan hasil kerja yang berbeda, bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling tergantung.
Jadi, di dalam nilai-nilai setiap barang-dagangan tersimpan kerja yang berguna, yakni aktivitas produktif dengan tujuan tertentu. Nilai-pakai tidak dapat berhadapan satu sama lain sebagai barang-dagangan, jika kerja yang berguna, yang ada di dalamnya, tidak berbeda secara kualitatif. Suatu masyarakat dikatakan menghasilkan barang-dagangan secara luas, yakni, masyarakat penghasil barang-dagangan di mana kerjanya (yang menghasilkan nilai-pakai) berbeda secara kualitatif, hasil usaha penghasil perseorangan yang tidak tergantung atau berdiri sendiri, dan kerja yang berbeda secara kualitatif tersebut berkembang ke suatu sistem yang kompleks-suatu pembagian kerja sosial.
Kecuali itu, tidak ada bedanya jas yang dipakai oleh penjahit atau pun oleh langganannya. Dalam kedua kejadian tersebut jas berfungsi sebagai nilai-pakai. Hubungan antara jas dan kerja yang menghasilkannya tidaklah berubah menurut situasi yang ada. Pekerjaan menjahit menjadi profesi khusus, atau suatu cabang dari pembagian kerja sosial yang tidak tergantung. Kebutuhan akan pakaian memaksa manusia memproduksinya, manusia telah memproduksinya beribu-ribu tahun sebelumnya, tanpa harus menjadi penjahit. Akan tetapi jas dan kain lena bukanlah seperti elemen material lainnya-yang secara spontan dihasilkan oleh alam, mereka ada sebagai hasil dari aktivitas produksi tertentu, dengan tujuan tertentu, suatu aktivitas dalam mengolah material alam tertentu guna memenuhi kebutuhan khusus manusia. Oleh karena itu kerja sebagai penghasil nilai-pakai, kerja yang berguna, merupakan syarat, apapun bentuk masyarakatnya, bagi keberadaan ras manusia; suatu keharusan alamiah yang abadi, tanpa itu tak akan ada pertukaran bahan antara manusia dan alam, atau tak akan ada kehidupan.
Nilai-pakai jas, kain lena dan sebagainya, pendek kata barang-dagangan yang berwujud, terdiri dari kombinasi dua elemen-bahan-bahan alam dan kerja. Jika semua kerja yang berguna, yang tersimpan dalam barang-dagangan, dihilangkan maka kini tinggallah bahan dasarnya saja, yang tanpa dikerjakan oleh manusia alam telah menyediakannya. Manusia dalam produksinya dapat bertindak hanya seperti alam itu sendiri, yaitu hanya mengubah bentuk-bentuk bahan.13) Lebih dari itu, dalam kerja merubah bentuk alam, manusia secara tetap didukung oleh tenaga alam. Dengan demikian, kerja bukanlah satu-satunya sumber kesejahteraan, atau juga bukan satu-satunya sumber nilai-pakai yang dihasilkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh William Petty, kerja adalah ayah, dan bumi adalah ibu.
Sekarang kita beralih dari penelaahhan nilai pakai barang-dagangan ke nilai barang-dagangan.
Seperti asumsi kita sebelumnya, jas mempunyai nilai dua kali lebih besar dari kain lena. Tetapi itu hanya perbedaan kuantitatif saja, yang untuk sementara ini tidak menarik perhatian kita. Jika satu jas = dua kali 10 ello kain lena, maka 20 ello kain lena = 1 jas. Sejauh mereka memiliki nilai-pakai, jas dan kain lena memiliki substansi yang sama, yaitu ekspresi obyektif dari kerja yang pada esensinya sama. Akan tetapi pekerjaan menenun dan menjahit, secara kualitatif, merupakan kerja yang berjenis. Dalam masyarakat tertentu terdapat keadaan di mana satu orang yang sama, secara bergantian, melakukan pekerjaan menenun dan menjahit, dalam kasus ini dua bentuk kerja tersebut hanyalah merupakan modifikasi kerja dari individu yang sama, dan belum menjadi fungsi-fungsi yang tetap dan khusus dari individu-individu yang berbeda; sepenuhnya sama seperti jas dan celana yang dibuat oleh penjahit pada waktu yang berbeda, semata-mata merupakan variasi kerja yang dilakukan oleh orang yang sama. Lebih dari itu, dengan sekali lihat saja, dalam masyarakat kapitalis, sesuai dengan perbedaan dalam permintaan, porsi tertentu kerja manusia dipenuhi, pada satu saat, dalam bentuk kerja menjahit, dan dalam saat yang lain, dalam bentuk kerja menenun. Perubahan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa gesekan, tapi hal tersebut harus tetap dilakukan.
Bila kita mengabaikan bentuk khusus aktivitas produktif, dengan demikian sekaligus juga mengabaikan watak kegunaan kerja, maka yang tertinggal hanyalah pengeluaran tenaga kerja manusia.
Menjahit dan menenun, walaupun secara kualitatif merupakan aktivitas produktif dari akal, otot, urat-syaraf, tangan dan lain-lain manusia, dan dalam makna tersebut adalah kerja manusia. Keduanya hanyalah merupakan dua cara pengeluaran kerja manusia yang berbeda. Tentu saja, tenaga kerja tersebut, yang tetap sama walau ada modifikasi-modifkasi, harus mencapai tahap perkembangan tertentu sebelum dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuknya. Akan tetapi nilai barang-dagangan merupakan cerminan kerja abstraksi manusia, pengeluaran kerja manusia secara umum. Dan dalam masyarakat seorang jenderal dan bankir memainkan peranan yang besar, sedangkan di lain pihak, manusia lainnya hanya memainkan peran yang kerdil dan patut dikasihani,14) demikian juga terhadap peran kerja manusia. Ia adalah pengeluaran kerja manusia yang sederhana, yakni, kerja rata-rata, yang tanpa perkembangan khusus pun, terdapat pada setiap organisasi badan manusia. Kerja rata-rata yang sederhana tersebut, memang betul, karakternya berubah-ubah sesuai dengan negri dan waktunya, akan tetapi dalam masyarakat tertentu ia ada. Kerja ahli hanyalah merupakan hasil peningkatan dan pelipatgandaan dari kerja sederhana, sehingga pengurangan jumlah kerja ahli sama dengan penambahan terhadap kerja sederhana. Pengalaman menunjukkan bahwa reduksi tersebut selalu terjadi. Satu barang-dagangan mungkin saja merupakan hasil kerja yang paling ahli, namun nilainya, dengan membandingkannya dengan produk kerja sederhana yang kurang keahliannya, merupakan jumlah tertentu dari kerja sederhana yang kurang keahlian tersebut.15) Perbedaan proporsi, karena berbagai jenis kerja yang berbeda direduksi menjadi kerja sederhana, merupakan standar ukuran yang ditetapkan sebagai kebiasaan (muncul seolah-olah sudah ada dari asalnya). Demi penyederhanaan, segala jenis kerja sederhana; Dengan melakukan hal ini kita akan terhindar dari kesalahan dalam membuat reduksi.
Oleh karenanya, sebagaimana kita memandang jas dan akin lena sebagai nilai-nilai yang diabstraksi dari nilai-pakainya masing-masing (yang berbeda), demikian juga kita memandang kerja sebagai cerminan nilai-nilai tersebut: Kita tidak memperdulikan perbedaan bentuk-bentuk kegunaannya, apakah itu menjahit atau pun menenun. Sebagai nilai-pakai, jas dan kain lena, merupakan kombinasi aktivitas produktif tertentu yang menggunakan kain dan benang, sedangkan sebagai nilai, jas dan kain lena, merupakan pembekuan homogen dari kerja yang tak berbeda, oleh karena itu kerja yang terkandung di dalam nilai-nilai tersebut harus diperlakukan bukan karena manfaat produktif yang diberikan oleh kain dan benang, akan tetapi hanya sebagai pengeluaran tenaga kerja manusia. Menjahit dan menenun merupakan faktor-faktor yang harus dipenihu dalam menciptakan nilai-pakai jas dan kain lena, tepatnya karena kedua jenis kerja tersebut memiliki kualitas yang berbeda; tapi sejauh kita hanya mengabstraksi kualitas khususnya, atau sejauh kita hanya menganggap keduanya memiliki kualitas kerja manusia yang sama, maka menjahit dan menenun substansi nilainya terdiri dari bahan yang sama.
Namun jas dan kain lena, bagaimana pun juga, bukan hanya semata-mata nilai, mereka adalah nilai-nilai yang memiliki besaran tertentu, dan berdasarkan asumsi kita, 1 jas memiliki nilai dua kali 10 ello kain lena. Dari mana asal perbedaan nilai-nilai mereka? Jawabannya adalah: karena kain lena hanya mengandung setengah kerja dibanding yang terkandung dalam jas, sehingga untuk menghasilkan jas diperlukan waktu dua kali lebih banyak.
Dalam hubungan dengan nilai-pakai kerja yang terkandung dalam barang-dagangan hanya diperhitungkan secara kualitatif. Sedangkan dalam menghitung nilai kita harus memperlakukannya secara kualitatif, dengan terlebih dahulu mereduksinya sebagai kerja murni dan sederhana. Pertanyaan untuk nilai-pakai adalah: Bagaimana dan Apa? Sedangkan pertanyaan untuk nilai adalah: Bagaimana dan Berapa? Berapa banyak waktu yang digunakan? Oleh karena besaran nilai itu dihitung dari jumlah waktu yang terkandung dalam barang-dagangan, maka semua barang-dagangan, pada proporsi tertentu, pada dasarnya haruslah memiliki nilai yang sama.
Jika kekuatan produktif, yang digunakan oleh berbagai kerja-berfaedah untuk menghasilkan jas, tidak berubah, maka pertambahan nilainya sebanding dengan pertambahan jumlahnya. Bila untuk menghasilkan 1 jas diperlukan waktu x hari kerja, maka untuk menghasilkan 2 jas diperlukan 2x hari kerja, dan seterusnya. Tetapi bagaimana seandainya lamanya kerja berfaedah untuk menghasilkan jas berubah 2 kalinya atau ½nya. Untuk kasus yang pertama (berubah 2 kalinya), nilai 1 jas yang sekarang sama dengan nilai 2 jas dahulu; dalam kasus yang kedua itu jelas terlihat: walaupun 1 jas yang dihasilkan dahulu dan sekarang sama-sama memberikan jas yang sama, dan tenaga kerja yang menghasilkannya memiliki kualitas yang sama, namun jumlah kerja untuk menghasilkannya berubah-ubah.
Pertambahan dalam jumlah nilai-pakai adalah pertambahan dalam kekayaan material. Dengan dua jas, dua manusia bisa berpakaian; dengan satu jas, hanya seorang manusia yang bisa berpakaian. Namun demikian, pertambahan dalam kekayaan material bertalian dengan, pada saat yang sama, penurunan besaran nilai. Gerak yang berlawanan tersebut berakar dari watak rangkap yang dimiliki kerja. Keberadaan tenaga produktif, tentu saja, tergantung dari produktifitasnya. Dengan demikian, kerja-berfaedah akan menjadi sumber kelimpahan hasil-hasil produksi, sesuai dengan naik turunnya produktifitasnya. Di lain pihak, kerja, yang dicerminkan oleh nilai, tidaklah dipengahuri oleh perubahan dalam produktivitas. Ketika kekuatan produktif telah menjadi unsur dari bentuk konkrit kerja-berfaedah, tentu saja kekuatan produktif tersebut tidak lagi ada sangkut-pautnya dengan kerja tersebut karena kini kita telah mengabstraksi bentuk-bentuk konkrit faedahnya. Kekuatan produktif bisa saja bermacam-macam, namun kerja yang sama, yang bekerja pada jumlah waktu yang sama, selalu menghasilkan jumlah nilai yang sama. Akan tetapi tenaga kerja tersebut, pada waktu yang sama, menghasilkan jumlah nilai-pakai yang berbeda; lebih banyak, bila ada peningkatan dalam kekuatan produktif. Perubahan dalam kekuatan produktif yang akan menambah faedah bagi kerja, dan, konsekuensinya, menyebabkan pertambahan jumlah nilai-pakai yang dihasilkan oleh tenaga kerja, sekaligus juga menurunkan jumlah total nilai, perubahan kekuatan produktif dapat memperpendek waktu kerja yang dibutuhkan dalam menghasilkan barang, demikian juga sebaliknya.
Di satu pihak; semua kerja adalah, dalam arti fisiknya, pengeluaran tenaga kerja manusia, dan dalam karakter abstraknya yang sama ia menghasilkan nilai barang-dagangan. Di lain pihak, semua pengeluaran kerja manusia dalam bentuknya yang khusus dan dengan tujuan tertentu, atau dalam karakter konkrit kerja yang berfaedah, menghasilkan nilai-pakai.16)
Catatan:
1) Karl Marx, "Zur Kritik der Politischen Oekonomie," Berlin 1859, hal. 4.
2) "Keinginan menyiratkan kebutuhan ini adalah selera jiwa, dan tentunya demikian juga seperti lapar bagi badan …. Pada umumnya (barang) mempunyai nilai karena ia memuaskan kebutuhan manusia." (Nicholas Barbon, "A Discourse on Coining the New Money Lighter. And Answer to Mr. Locke's Consideration etc.," London 1696, hal. 2, 3).
3) "Barang memiliki intrinsick vertue" ini pada Barbon adalah tanda khas pada nilai pakai), yang di mana-mana sama sebagaimana maknit menarik besi" (ibid., hal. 6). Sifat-sifat magnit menarik besi, akan menjadi berguna, jika dengan alat tersebut ditemukan polarisasi kutub magnit.
4) "Nilai hakikat suatu barang terdiri dari kemampuannya memenuhi kebutuhan yang diinginkan atau mengabdi kepada kenikmatan kehidupan manusia." (John Locke, "Some Consideration on the Consequences on the Lowering of Interest," 1691, dalam Works, London, 1777, Volume II. Hal. 28). Dalam abad ke XVII kita masih sering menemukan, pada penulis-penulis Inggris, kata "worth" untuk menyatakan nilai-pakai, dan "value" untuk menyatakan nilai tukar. Ini benar-benar dalam semangat bahasa, seperti kata Teutonic, dalam bahasa Jerman, untuk menyatakan sesuatu yang aktial, dan kata reflexion, dalam bahasa Romawi, untuk menyatakan refleksi dari sesuatu yang aktual.
5) Di dalam masyarakat borjuis berkuasa hukum fiksi, seolah-olah setiap orang, sebagai pembeli barang-dagangan, memiliki pengetahuan tentang barang-dagangan secara ensiklopedis.
6) "Nilai berada dalam hubungan pertukaran antara satu barang dengan yang lain, antara jumlah tertentu suatu hasil produksi dengan jumlah tertentu lainnya." (Le Trosne, De l'Interest Social, dalam Physiocrates, ed. Daire, Paris, 1845, hal. 889).
7) "Tiada yang dapat mempunyai nilai-tukar intrinsik" (N. Barbon, op.cit., hal. 6; atau seperti yang dikatakan Butler: "Nilai suatu barang justru sama dengan yang akan ia bawa."
8) N. Barbon, loc.cit., hal. 53, 57.
9) "Nilai dari benda-benda guna, begitu mereka dipertukarkan satu dengan yang lainnya, ditentukan melalui jumlah kerja yang diperlukan dan, biasanya, digunakan untuk menghasilkannya." (Some Thought on the Interest of Money in General, and Particularly un the Public Funds, etc., London, hal. 36). Tanggal terbit dari karya yang bagus ini tidak jelas, dan demikian juga namanya. Tetapi dari isinya kelihatan bahwa ia terbit pada masa George II, kira-kira pada tahun 1739 atau 1740.
10) "Semua hasil produksi dari jenis yang sama sebenarnya hanya membentuk satu jumlah, yang harganya ditentukan secara umum, tanpa mengindahkan keadaan khususnya." (Le Trosne, op.cit., ..6.
11) Karl Marx, op.cit., hal. 6.
12) Catatan untuk cetakan ke 4: Saya menambahkan catatan dalam tanda kurung, karena dengan tidak adanya ia, sangat sering timbul salah pengertian, seolah-olah menurut Marx, setiap hasil produksi, yang dikonsumsi oleh orang lain atau oleh produsen-produsen yang lain, adalah barang-dagangan-F. Engels
13) "Semua gejala alam, apakah mereka diciptakan oleh tangan manusia ataukah oleh hukum-hukum fisik alam, bukanlah ciptaan baru yang sebenarnya, melainkan hanya modifikasi bahan. Penggabungan dan pemisahan adalah satu-satunya unsur yang tak henti-hentinya ditemukan oleh akan manusia dalam analisa gagasan produksi: dan demikian juga hubungannya dengan produksi nilai (nilai-pakai, walaupun Verri sendiri, dalam polemiknya dengan kaum fisiokrat, tidak mengerti tentang nilai dari jenis apa yang ia sedang bicarakan itu) dan kesejahteraan manusia--kesejahteraan atau kelimbahan hanya akan ada bila kekayaan bumi, udara, air di ladang-ladang berubah menjadi gandum, atau ketika melalui tangan manusia getah suatu serangga berubah menjadi sutra, juga ketika bagian-bagian kecil logam digabungkan begitu rupa hingga menjadi jam dinding." -Pietro Verri, Meditazioni sulla Economia Politica (cetakan pertama tahun 1773), dalam edisi Custodi (ekonom Itali) Scrittori Classici Italiani di Economia Politica, Parte Moderna, Jilid XV, hal. 22.
14) Bandingkan (Cf.) dengan Philosopie des rechts (Philosophy of Rights) nya Hegel, Berlin 1840, hal. 250, edisi Inggrisnya hal. 190.
15) Harus dicatat bahwa dalam pembicaraan ini bukanlah berkisar tentang upah kerja atau nilai yang diterima oleh buruh, misalnya untuk satu hari kerja atau nilai yang diterima oleh buruh, misalnya untuk satu hari kerja, akan tetapi tentang nilai barang-dagangan yang merangkum atau mematerialkan waktu kerja. Kategori upah sama sekali belum ada dalam keterangan atau penelaahan ini.
16) Untuk membuktikan bahwa kerja merupakan satu-satunya ukuran riil, di mana nilai-nilai semua barang-dagangan dapat diestimasi dan dibandingkan dengan waktu kerja, Adam Smith berkata: "Jumlah kuantitas yang sama dari kerja haruslah, pada semua waktu dan tempat, memiliki nilai yang sama untuk semua buruh. Pada keadaan kesehatan, kekuatan dan aktivitasnya yang normal, serta pada tingkat rata-rata ketrampilan yang dimilikinya, ia harus mengorbankan (dijadikan sebagai tenaga kerja) ketenangan, kebebasan dan kebahagiaannya." (Wealth of Nations, buku jilid I, bab V, hal. 104-105). Di satu pihak, A. Smith di sini (tetapi tidak untuk pengertian yang lain) dibingungkan oleh ketentuan nilai yang dihitung berdasarkan kerja yang dikeluarkan untuk menghasilkan barang-dagangan, dan kemudian sebagai konsekuensinya berusaha membuktikan bahwa jumlah kuantitas yang sama dari kerja selalu memiliki nilai yang sama. Di lain pihak, ia mengira bahwa kerja, sejauh ia dinyatakan dalam nilai barang-dagangan, hanya dihitung atau berlaku sebagai pengeluaran tenaga kerja, namun ia memperlakukan pengeluaran tersebut semata-mata hanya merupakan pengorbanan ketenangan, kebebasan, dan kebahagiaan, bukan berdasarkan jumlah waktu yang sama dari aktivitas normal kehidupan (kesibukan kehidupan yang normal). Namun kemudian, ia memiliki pengertian tentang upah buruh modern. Lebih tepat lagi, pendahulu Adam Smith, yang dibicarakan dalam catatan no. 9 di atas, yang mengatakan "Seseorang telah bekerja selama seminggu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya …. dan ia, ketika mendapatkan barang lain dalam pertukaran, tidak dapat menilai secara tepat nilai tukarnya, selain daripada seberapa banyak waktu dan kerja yang telah dikeluarkannya; kenyataan ini menunjukkan adanya pertukaran kerja--pertukaran waktu dan-yang digunakan oleh masing-masing dalam menghasilkan barang, masing-masing memiliki waktu tertentu." (op.cit., hal. 39).
(Catatan untuk edisi ke 4: Bahasa Inggris memiliki keunggulan dalam menyatakan dua aspek kerja yang berbeda. Kerja yang menciptakan nilai-pakai, yang ditetapkan secara kualitas, dinamakan work, sedangkan kerja yang menciptakan nilai, yang diukur berdasarkan kuantitas, dinamakan labour. F. Engels)


Karl Marx
bab II.
Memorandum untuk Robert Applegarth, 3 Desember 1869
Saudara yang tercinta,
Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja.
Sekalipun tidak bermaksud mendiskusikan di sini semua argumen yang dikedepankan oleh para pembela hak-pemilikan partikelir atas tanah-para ahli-hukum, -filsafat, dan -ekonomi-politik-pertama-tama akan kita nyatakan bahwa mereka menyamarkan kenyataan sebenarnya tentang penaklukan dengan jubah hak-alamiah. Jika penaklukan (perebutan) merupakan suatu hak alamiah di pihak (orang-orang) yang sedikit jumlahnya, maka yang banyak hanya perlu mengumpulkan kekuatan secukupnya untuk memperoleh hak alamiah merebut kembali yang telah dirampas dari pihak mereka. Dalam perjalanan sejarah, para penakluk itu berusaha memberikan semacam sanksi sosial pada hak asli mereka yang mereka dapatkan melalui kekerasan kasat mata, melalui alat-alat hukum yang mereka paksakan. Pada akhirnya datanglah filsuf yang menyatakan hukum-hukum itu mengimplikasikan persetujuan universal dari masyarakat. Seandainya memang benar hak-pemilikan tanah secara perseorangan itu berdasarkan persetujuan universal seperti itu, maka kita menegaskan bahwa perkembangan ekonomi masyarakat, peningkatan jumlah dan konsentrasi rakyat, keharusan akan kerja kolektif dan terorganisasinya pertanian maupun mesin-mesin dan penemuan-penemuan serupa, menjadikan nasionalisasi atas tanah suatu keharusan sosial, yang terhadapnya tidak akan mempan segala macam omongan tentang hak-hak pemilikan.
Perubahan-perubahan yang mengucapkan keharusan sosial pasti akan berjalan, lambat atau cepat, karena tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat harus dipenuhi, dan perundang-undangan selalu akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan keperluan itu.
Yang kita perlukan ialah produksi yang hari demi hari meningkat, yang urgensinya tidak dapat dipenuhi dengan membiarkan sekelompok kecil individu mengaturnya sesuka mereka dan kepentingan-kepentingan pribadi atau secara bodoh menghabis-habiskan daya bumi (tanah). Semua cara modern seperti irigasi, drainasi, penggarapan tanah dengan mesin, pemeliharaan secara kimiawi, dsb., pada akhirnya haruslah dilakukan dalam pertanian. Namun, pengetahuan ilmiah yang kita miliki, dan alat-alat tehnik pertanian yang kita kuasai, seperti permesinan, dsb., tidak akan pernah dapat diterapkan secara berhasil kecuali dengan pembumidayaan tanah secara besar-besaran. Penggarapan tanah secara besar-besaran-bahkan dalam bentuk sekarang yang kapitalistik, yang memerosotkan produser itu sendiri menjadi sekedar hewan kerja-mesti menunjukan hasil-hasil yang jauh lebih unggul ketimbang penggarapan tanah secara sebagian-sebagian dan kecil-kecilan-tidakkah itu, jika diterapkan dalam dimensi-dimensi nasional, jelas memberikan dorongan luar biasa pada produksi? Kebutuhan rakyat yang terus-meningkat di satu pihak, terus meningkatnya harga produk-produk agrikultur di lain pihak, menjadi bukti yang tidak dapat disangkal bahwa nasionalisasi atas tanah telah menjadi suatu keharusan sosial. Pengerdilan produksi pertanian yang bersumber pada penyalahgunaan individual menjadi tidak dimungkinkan lagi dengan pelaksanaan kultivasi yang terkendali/diawasi, dengan suatu biaya dan demi keuntungan bangsa.
Perancis seringkali dijadikan contoh, tetapi dengan hak-pemilikan pertaniannya Perancis adalah lebih jauh dari nasionalisasi tanah jika dibandingkan dengan Inggris dengan landlordisme-(sistem tuan-tanah)-nya. Memang benar, bahwa di Perancis, tanah itu 'terbuka' bagi semua orang yang dapat membelinya, tetapi justru kemudahan ini telah melahirkan pembagian tanah menjadi bidang-bidang kecil yang digarap oleh orang yang berpenghasilan rendah dan terutama mesti bersandar pada sumber-sumber kerja badaniah diri mereka sendiri dan keluarga-keluarga mereka. Bentuk pemilikan tanah ini dan penggarapan yang berbidang kecil-kecil yang diakibatkannya tidak saja memustahilkan semua penerapanan kemajuan-kemajuan pertanian modern, melainkan sekaligus mengubah penggarap itu sendiri menjadi musuh paling keras terhadap segala kemajuan sosial, dan terutama sekali, musuh terhadap nasionalisasi tanah. Terikat pada tanah, yang penggarapannya menyedot seluruh daya vitalnya agar dapat memperoleh hasil yang relatif sedikit, terikat pula untuk melepaskan sebagian besar poroduksinya kepada negara dalam bentuk pajak-pajak, pada hukum rumpun dalam bentuk biaya-biaya judiciary, dan pada lintah-darat dalam bentuk bunga; sepenuhnya buta mengenai gerakan masyarakat di luar bidang sempit kegiatannya; ia masih saja bergayut dengan kecintaan-buta pada bidang tanahnya dan sekedar hak-pemilikannya yang cuma nominal atas bidang tanah itu. Dengan cara ini, petani Perancis telah terlempar ke dalam antagonisme yang paling fatal dengan klas pekerja industrial. Hak pemilikan tanah pertanian dengan demikian menjadi halangan terbesar bagi nasionalisasi tanah.
Perancis, dalam keadaannya sekarang, jelas bukan tempat di mana kita mesti mencari suatu pemecahan bagi masalah besar ini. Menasionalisasi tanah dan membaginya dalam bidang-bidang tanah kecil pada orang perseorangan atau perhimpunan-perhimpunan pekerja akan, dengan sebuah pemerintah klas-menengah, cuma menimbulkan persaingan serampangan di antara mereka, dan menyebabkan suatu peningkatan 'bunga' tertentu, dan dengan demikian memberikan fasilitas-fasilitas baru pada para pemilik dalam menghisap kaum produsen.
Dalam Kongres Internasional di Brussel, pada tahun 1868, seorang teman berkata:
"Hak pemilikan tanah kecil secara perseorangan bernasib gagal oleh keputusan ilmu pengetahuan; hak pemilikan tanah luas secara perseorangan oleh keadilan. Maka hanya tersisa satu alternatif saja. Tanah mesti menjadi milik persekutuan-persekutuan desa, atau milik seluruh bangsa. Masa depan akan menentukan hal ini."
Tetapi saya, sebaliknya, mengatakan:
"Masa depan akan menentukan bahwa tanah hanya dapat dimiliki secara nasional. Menyerahkan tanah ke tangan pekerja-pekerja pedesaan yang bersatu akan berarti menyerahkan seluruh masyarakat pada satu klas produser saja. Nasionalisasi atas tanah akan menghasilkan suatu perubahan menyeluruh dalam hubungan antara kerja dan modal dan akhirnya akan sepenuhnya menghapus produksi kapitalis, baik yang industrial atau yang pedesaan. Hanya pada waktu itulah perbedaan-perbedaan klas dan hak-hak istimewa klas akan lenyap bersama basis ekonomik yang menjadi asal-muasalnya dan masyarakat akan ditransformasi menjadi suatu asosiasi kaum 'produser'. Hidup atas kerja orang lain akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Tidak akan ada lagi suatu pemerintahan atau suatu negara yang beda dari masyarakat itu sendiri."
Pertanian, pertambangan, manufaktur, singkat kata, semua cabang produksi akan secara bertahap terorganisasi dalam bentuk yang paling efektif. Sentralisasi atas alat-alat produksi secara nasional akan menjadi basis alamiah sesuatu masyarakat yang tersusun dari asosiasi-asosiasi para produser yang bebas dan sederajat, yang secara sadar beraksi berdasarkan sebuah rencana umum dan rasional.
Demikian itulah tujuan yang menjadi arah/kecenderungan gerakan besar ekonomi abad ke XIX.

Tesis tentang Feuerbach
Karl Marx (1845)
I
Kekurangan utama dari semua materialisme yang ada sampai sekarang-termasuk materialisme Feuerbach-ialah bahwa hal ihwal (Gegenstand), kenyataan, kepancainderaan, digambarkan hanya dalam bentuk benda (Objekt) atau renungan (Anschauung), tetapi tidak sebagai aktivitet pancaindera manusia, praktek, tidak secara subyektif. Karena itu terjadilah bahwa segi aktif, bertentangan dengan materialisme, dikembangkan oleh idealisme-tetapi hanya secara abstrak, karena, sudah barang tentu, idealisme tidak tahu akan aktivitet pancaindera yang nyata sebagai hal yang sedemikian itu. Feuerbach membutuhkan benda-benda kepancainderaan, yang benar-benar dibedakan dari benda-benda pikiran, tetapi dia tidak mengartikan aktivitet manusia itu sendiri sebagai aktivitet obyektif (gegenständliche). Oleh karena itu, dalam Hakekat Agama Kristen, dia memandang sikap teoritis sebagai Satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedang praktek digambarkan dan ditetapkan hanya dalam bentuk permunculannya yang keyahudian dan kotor. Karena itu dia tidak menangkap arti penting aktivitet "revolusioner", aktivitet "kritis-praktis".
II
Soal apakah kebenaran obyektif (gegenständliche) bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya, kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek merupakan soal skolastik semata-mata.
III
Ajaran materialis bahwa manusia itu adalah hasil keadaan dan didikan, dan bahwa, oleh karenanya, manusia yang berubah adalah hasil keadaan-keadaan lain,dan didikan yang berubah, melupakan bahwa manusialah yang mengubah keadaan dan bahwa pendidik itu sendiri memerlukan pendidikan. Karena itu, ajaran ini menurut keharusan sampai pada membagi masyarakat menjadi dua bagian, satu di antaranya adalah lebih unggul daripada masyarakat (pada Robert Owen, misalnya).
Terjadinja secara bersamaan perubahan keadaan dengan perubahan aktivitet manusia bisa dibayangkan dan dimengerti secara rasionil hanya sebagai praktek yang merevolusionerkan.
IV
Feuerbach bertolak dari kenyataan pengasingan-diri secara keagamaan, dari pendobelan dunia menjadi dunia khayali yang bersifat keagamaan dan dunia nyata. Pekerjaannya berupa melebur dunia keagamaan ke dalam dasar duniawinya. Dia mengabaikan kenyataan bahwa sesudah menyelesaikan pekerjaan itu, hal yang utama masih tetap harus dilakukan. Karena kenyataan bahwa dasar duniawi itu melepaskan diri dari dirinya dan menegakkan diri di awang-awang sebagai kerajaan yang berdiri sendiri sesungguhnya hanyalah dapat diterangkan dengan pembelahan-diri dan sifat pertentangan dengan diri sendiri dari dasar duniawi itu. Karena itu yang tersebut belakangan itu sendiri lebih dulu harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian, dengan ditiadakannya kontradiksi itu, direvolusionerkan dalam praktek. Dengan begitu, misalnya, sekali keluarga duniawi itu ditemukan sebagai rahasia dari keluarga suci, maka yang tersebut duluan itu sendiri harus dikritik dalam teori serta direvolusionerkan dalam praktek.
V
Feuerbach tidak puas dengan pemikiran abstrak, berpaling kepada kontemplasi kepancainderaan; tetapi dia tidak menganggap kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, aktivitet pancaindera-manusia.
VI
Feuerbach melebur hakekat keagamaan ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat kemanusiaan bukanlah abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu. Dalam kenyataannya ia adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial.
Oleh karenanya, Feuerbach, yang tidak memasuki kritik terhadap hakekat yang nyata itu, terpaksa:
1.Mengabstraksi dari proses sejarah dan menetapkan sentimen keagamaan (Gemüt) sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan mengandaikan.perorangan manusia yang abstrak-yang terisolasi.
2.Karena itu, baginya hakekat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai "jenis", sebagai suatu keumuman intern yang bisu yang hanya dengan wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.
VII
Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa "sentimen keagamaan" itu sendiri adalah hasil sosial, dan, bahwa perorangan yang abstrak yang dianalisanya nyatanya termasuk bentuk khusus dari masyarakat.
VIII
Kehidupan sosial pada hakekatnya adalah praktis. Segala keghaiban yang secara menyesatkan membawa, teori kepada mistik menemukan pemecahannya yang rasionil dalam praktek manusia dan dalam pemahaman praktek itu.
IX
Titik tertinggi yang dicapai oleh materialisme kontemplatif, yaitu, materialisme yang tidak memahami kepancainderaan sebagai aktivitet praktis, adalah renungan satu-satu individu dalam "masyarakat sipil".
X
Pendirian materialisme lama ialah masyarakat "sipil"; pendirian materialisme baru ialah masyarakat manusia, atau umat manusia yang bermasyarakat.
XI
Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya.

Ditulis oleh Marx dalam musim semi 1845.
Mula-mula diterbitkan oleh Engels dalam 1888 sebagai Lampiran pada edisi yang tersendiri dari karyanya Ludwig Feuerbach.
Dicetak menurut naskah edisi tersendiri pada tahun 1888 dan diperiksa dengan manuskrip Karl Marx.
ooo0ooo
ooo0ooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

masukkan komentar anda