KETERKAITAN STRUKTUR FITRAH MANUSIA DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
A. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdullah untuk beribadah kepada-Nya.
Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. Pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.
Fitrah erat kaitannya dengan citra manusia yang merupakan gambaran tentang diri manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas asli manusiawi. Kualitas tersebut merupakan sunnah Allah yang ada pada manusia sejak ia dilahirkan. Kondisi citra manusia secara potensial tidak dapat berubah, sebab jika berubah maka eksistensi manusia menjadi hilang, namun secara aktual citra tersebut dapat berubah sesuai dengan kehendak dan pilihan manusia itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan pendidikan islam yang harus didasarkan pada konsep dasar tentang manusia yang berhubungan dengan kualitas-kualitas atau potensi manusia, potensi yang memerlukan proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan individu yang berwawasan kepada Islam- dalam hal ini dengan berpandu kepada al-Quran dan hadits- sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat.
B. Struktur Fitrah Manusia
1. Makna Fitrah
Kata fitrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah mencipta sesuatu pertama kali / tanpa ada contoh sebelumnya. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir.
Dalam literatur yang berkembang, pemaknaan fitrah sangat bervariasi. Pemaknaan itu setidak-tidaknya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu (1) makna etimologi (lughat), makna kebahasaan atau makna semantik yang menjadi elemen penting dalam istilah tersebut; (2) makna nasabi (relational meaning), makna tambahan yang terjadi karena istilah itu dihubungkan dengan konteks dimana istilah itu berada; dan (3) terminologi (ishtilah).
Sebenarnya fitrah bukanlah sesuatu yang didapatkan atau diusahakan, tetapi sesuatu yang “ditemukan kembali.” Itu sebabnya istilah yang dipakai adalah “kembali ke fitrah” yang secara simbolik artinya adalah merayakan kembalinya diri kita kembali ke alam surga diri - alam kefitrahan manusia - , "kembali kepada kecemerlangan suara hati"; asal dari penciptaannya.
Artinya "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (islam) dalam keadaan lurus. Fitrah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus: tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.." (Q. s. al-Rûm/30:30).
2. Kompleksitas Fitrah Natur Manusia
Fitrah adalah potensi diri manusia untuk lebih baik. Itulah sebabnya petensi untuk menjadi baik pada diri kita senantiasa didorong dan dibangkitkan. Banyak sekali orang yang selalu optimis, sehingga berbagai masalah dan rintangan mampu dihadapi dengan gembira yang akhirnya mampu membuat orang-orang disekitarnya termotivasi untuk menungkatkan kualitas hidupnya.
Semua mahluk Tuhan, baik yang biotik (nami) maupun abiotik (ghayr nami) memiliki potensi (fitrah). Masing-masing mahluk tersebut, kecuali manusia, memiliki satu natur yang unik. Api misalnya memiliki natur panas, air memiliki natur dingin, udara memiliki natur kering, dan tanah memiliki natur basah. Demikian juga, malaikat memiliki natur baik, iblis memiliki natur buruk, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak memiliki natur baik atau buruk. Baik secara potensi maupun aktual, masing-masing natur mahluk itu akan tetap dalam fitrah aslinya, dan tidak mungkin berubah-ubah, kecuali atas rekayasa manusia, seperti panasnya api berubah menjadi dingin karena teknologi air conditioning (AC).
Berbeda dengan mahluk yang bernama manusia. Ia adalah mahluk yang unik, yang secara potensial memiliki seluruh natur semua mahluk Tuhan. Dalam bentuk aktual, ia diberi kewenangan seluas-luasnya oleh-Nya untuk memilih potensi mana yang diaktualisasikan. Tidak berkelebihan jika dinyatakan “al-Insan kawn shaghir, wa al-kawn insan kabir” (manusia adalah mikro kosmos, sedang kosmos adalah manusia makro). Karena natur yang serba ada itulah maka ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi.
Predikat khalifah ternyata menimbulkan banyak polemik. Iblis yang terstruktur dari api mengalami kesalahan persepsi dalam melihat kompleksitas fitrah manusia. Iblis hanya melihat aspek jasmaniah dan melupakan aspek ruhaniah , sehingga ia mengatakan “Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah." (QS. Shâd:76). Sementara dalam QS. al-Baqarah ayat 30-34 disebutkan bahwa malaikat semula berpikir negatif (negative thinking) terhadap potensi dasar manusia, seperti kecenderungan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah, tanpa memperhatikan keunikannya. Malaikat bahkan menunjukkan suprioritasnya dengan menyatakan "Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Malaikat segera menyadari kesalahannya setelah Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Begitu kompleks fitrah asli manusia, sehingga manusia pantas menerimah amanah Tuhan untuk menjadi khalifah dan hamba -Nya. Kompleksitas natur asli itu dapat mendinamisasi kehidupannya, bahkan kehidupan dan kelestarian alam semesta. Kita dapat membayangkan, jika kekhalifahan itu dipegang oleh selain manusia, maka kehidupan alam semesta menjadi statis dan jumud.
3. Fitrah Struktur Manusia
Di antara keunikannya, manusia bukan hanya terstruktur dari jasmani, tetapi juga ruhani. Ruh bukan sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tetapi satu jauhar (substance) yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani. Sinergi antara jasmani dan ruhani menjadikan nafsani, yang tumbuh sejak usia empat bulan di dalam kandungan. Struktur nafsani manusia terbagi atas tiga bagian, yaitu kalbu, akal, dan nafsu. Integrasi ketiga jenis nafsani ini menimbulkan apa yang disebut dengan kepribadian.
Untuk mengetahui fitrah masing-masing bagian struktur nafsani manusia dapat dilihat tabel berikut ini.
Tabel II: Fitrah Pada Struktur Manusia
No KALBU AKAL NAFSU IMPLIKASI PSIKOLOGIS
1. Secara jasmaniah, berkedudukan di jantung Secara jasmaniah, berkedudukan di otak (al-dimagh) Secara Jasmaniah, berkedudukan di perut dan alat kelamin
Kelainan pisik banyak disebabkan oleh psikis (psikosomatik)
2. Berdaya emosi
(rasa) dan afektif
Berdaya kognisi
(cipta)
Berdaya konasi (karsa) atau psikomotorik
Bertindak tidak hanya karena kemampuan dan kepandaian, tetapi juga kemauan
3. Mengikuti
natur ruh yang
ilahiah
Mengikuti natur
ruh dan jasad
yang insaniah
Mengikuti natur jasad yang hayawaniah
(bahimiyah dan
syubu’iyah)
Di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman (kehewanan)
4. Potensinya bersifat
dzawqiyah (cita-rasa) dan hadsiah
(intuitif)
Potensinya bersifat
Istidhlaliah (argumentatif) dan aqliah (logis)
Potensinya bersifat issiah
(indrawi)
Perolehan ilmu pengetahuan tidak hanya dengan indra (ilmu
empiris), akal (filsafat),tetapi juga intuisi (agama)
5. Berkedudukan pada alam ke-suprasadaran manusia
Berkedudukan pada alam kesadaran
manusia
Berkedudukan pada alam pra atau bawah sadar manusia
Manusia yang kamil bukan hanya manusia yang berada dalam bingkai kesadarannya, tetapi kesuprasadaran-nya, karena ia mampu menembus dimensi lain
6. Apabila mendominasi
jiwa manusia
maka
menimbulkan Kepribadian
yang tenang
(al-nafs al-
muthmainnah)
Apabila mendominasi
jiwa manusia maka menimbulkan Kepribadian yang labil (al-nafs al-lawwamah)
Apabila mendominasi
jiwa manusia maka
menimbulkan Kepribadian
yang jahat (al-nafs al-
ammarah)
1. Orang yang mukmin, muslim dan muhsin adalah orang yang paling tinggi
kepribadiannya
2. Kepribadian yang baik menurut ukuran manusia tidak stabil, karena sifatnya yang temporal dan dibatasi
ruang dan waktu
3. Eksistensi manusia jangan sampai diatur oleh sesuatu yang naturnya lebih rendah darinya, sehingga berkepribadian hina
4. Fitrah Bertuhan Dan Beragama
Ketika disebut kata fitrah, idiom yang muncul berikutnya adalah bertuhan dan bergama Islam, meskipun kata itu meliputi seluruh domain pada diri manusia. Idiom itu berasal dari sabda Nabi Saw yang artinya:
Artinya “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci). Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, Majusi, atau musyrik.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Menurut Ibnu Taimiyah, fitrah pada hadis itu memiliki arti Islam, sebab dengan tidak menyebut kata yusallimanihi (mengislamkannya), sementara disebutkan kata yuhawwidanihi, yanashshiranihi, dan yusyarrikanihi, maka otomatis kata itu memiliki arti Islam.
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa ruh manusia di alam arwah telah mengadakan perjanjian ketuhanan (QS. al-A’raf:172), yang mana manusia mau menerima amanah dari-Nya (QS. al-Ahzab:72) untuk menjadi khalifah (QS. al-Baqarah:30-34) dan hamba-Nya (QS. al-Dzariyat:56-57), sedang perjanjian itu dilembagakan dalam satu agama yang disebut dengan Islam (QS. Ali Imran:19,85, al-An’am:125, al-Maidah:3). Hal itu menunjukkan bahwa fitrah asli manusia adalah bertuhan bahkan beragama, yakni agama Islam.
C. Perbandingan Pendapat Beberapa Sarjana
1. Faham Neoklasik.
Faham ini dimotri oleh Muhammad Ali al-Shabuni, seorang ulama kontemporer yang mendefinisikan bahwa fitrah manusia yaitu: merupakan bawaan dan alamiah pada manusia yang membawa kemampuan spiritual untuk melakukan yang baik. Dia merujuk salah satu prinsip yang diletakkan oleh Nabi Saw yaitu bahwa kebaikan menyatu pada manusia sementara kejahatan bersifat aksidental. Manusia secara alamiah cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Akan tetapi lingkungan sosial, khususnya orangtua bisa memiliki pengaruh merusak terhadap diri, akal dan fitrah anak.
Tokoh lainnya yang senada dengan Ali al-Shabuni yaitu Syekh Tantowi Jauhari yang berpendapat bahwa manusia terlahir dalam keadaan iman. Juga, pikiran manusia seperti sebuah tabularasa atau lembaran kosong, yang siap menerima stimulan baik maupun yang jahat, tetapi secara alamiah dia cenderung menerima dorongna yang baik. Kejahatan merupakan sumber eksternal kesalahan bimbingan, sementara kebaikan merupakan suatu kecenderungan utama. Dalam keadaan tidak adanya dorongan jahat, manusia memiliki kapasitas melakukan yang baik dan mengakui keesaan Allah.
2. Faham Dualis
Tokoh faham ini adalah Sayyid Quthb, ia merupakan anggota Ikhwanul Muslimin sebuah gerakan yang dipimpin oleh Hassan al-Banna di Mesir. Menurut pendapat dia ”manusia sebagai mahluk merdeka dan pembuat keputusan, manusia berada di antara bagian hakikat yang tersusun dari tanah dan cenderung ke arah nizam jahiliy (tatanan jahiliyah pra Islam) dan bagian yang tersusun dari ruh yang berasal dari Allah yang mempunyai kecenderungan kepada Nizam Islamiy (tatanan Islam yang sesungguhnya). Di antara dua kutub inilah manusia diingatkan untuk berjuang secara simultan melalui wahana jihad untuk menentang kebodohan. Dalam tafsir al-Qur’annya dukungan Quthb terhadap penafsiran dualis tentnag fitrah terlihat jelas, khususnya dalam hubungannya dengan: Q.S. Al-Hijr: 28-29. yang artinya:
:” Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ” Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Sayid Quthb memandang ayat ini sebagai bukti jelas yang menyimpulkan penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar dan potensi hamba. Dua pembentuk essensial dari struktur manusia secara menyeluruh tersebut, yaitu ruh dan tanah yang mempunyai implikasi kebaikan dan kejahatan sebagai dua kecenderungan yang setara paad manusia--kecenderungan untuk mengikuti petunjuk Tuhan atau kecenderungan untuk tersesat.
Sebagai tanbahan bagi potensi bawaan ini, Sayyid Quthb percaya bahwa manusia memiliki suatu kemampuan sadar yang memungkinkannya untuk membedakan yang baik dari yang jahat. Kemampuan ini juga menentukan tindakan-tindakannya dan menyebabkannya bertanggung jawab bagi tindakan-tindakan tersebut. Seseorang yang mempergunakan kemampuannya untuk mengikuti kecenderungan bawaannya kepada yang baik, untuk mensucikan dirinya dan mengendalikan dorongan jahat yang ada di dalamnya, orang tersebut akan beruntung. Sementara orang yang mempergunakannya untuk mengikuti hawa nafsu jahatnya akan merugi. Kemampuan sadar tersebut juga dimaksudkan untuk memahami sumber-sumber petunjuk dan kesalahan bimbingan eksternal yang melengkapi kecenderungan-kecenderungan yang baik dan jahat tersebut.
Kebaikan yang ada dalam diri manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu Tuhan, sementara kejahatan dalam diri manusia dilengkapi oleh semua bentuk godaan dan kesesatan. Meskipun demikian fungsi kecenderungan-kecenderungan bawaan yang menentukan pengaruh-pengaruh eksternal hanya membantu melengkapi kecenderungan bawaan, sementara kemampuan sadar tersebut memungkinkannya untuk memilih jalan tertentu. Sifat dasar manusia begitu lengkap karena dia bukan saja dikaruniai suatu sifat dasar ganda dan telah diperlihatkan ” dua jalan ” sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Sayyid Quthb dalam komentarnya terhadap ayat yang di kutip di atas. Tetapi selaras dengan hal ini, dia telah diberi kebebasan untuk memilih di antara dua jalan tersebut.
3. Pandangan Fatalisme
Pandangan ini dianut oleh ulama sufi Syekh Abdul Qodir Jaelani (meninggal 561 H). Kelompok ini menganggap determinisme sebab dan akibat juga bisa diterapkan pada perbuatan-perbuatan manusia, sama seperti Allah telah menciptakan dirinya dan hukum-hukum tentang alam, Dia juga telah menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian tindakan yang benar maupun yang salah merupakan bagian dari ciptaanNya.
Lebih jauh lagi Syekh Abdul Qadir Jaelani mempertahankan bahwa seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan sebelumnya. Sebab, meskipun kesalahannya besar dan banyak, melalui ketetapan Allah dia akan melakukan perbuatan baik yang cukup untuk menjaminnya memperoleh satu tempat di surga. Implikasi dari penafsiran tersebut dapat menentukan: setiap individu melalui ketetapan Tuhan adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara umum atau sesuai dengan rencana Tuhan. Dengan demikian tanpa nemandang faktor-faktor eksternal dari petunjuk seseorang terikat oleh kehendak Allah untuk menjalani “ cetak biru “ kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelum keberadaannya.
4. Paham Psikoanalisis
Tokoh dari paham ini adalah Sigmund Freud, dia lebih melihat citra buruk manusia yang dilatarbelakangi oleh tiga proses mental, yaitu (1) konflik antara motif-motif yang menentang; (2) kecemasan tentang motif-motif yang tidak dapat diterima ; dan (3) pertahanan terhadap motif-motif yang begitu tidak dapat diterima.
Menurut Sigmund Freud kepercayaan terhadap suatu agama merupakan suatu delusi, ilusi (mensucikan lembaga kemanusiaan yang buruk), perasaan menggoda pikiran (obsessional neurosis), dan berasal dari ketidakmampuan manusia (helplesness) dalam menghadapi kekuatan alam di luar dirinya dan juga kekuatan insting dari dalam dirinya sendiri. Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa agama merupakan fakta psikis yang sama validitasnya dengan fakta pisik.
Freud membagi struktur kepribadian kedalam tiga kategori, pertama, aspek biologis, kedua, aspek psikologis, ketiga, aspek sosiologis. Dengan pembagian ketiga aspek ini, maka tingkatan tertinggi manusia adalah moralitas dan sosialitas dan tidak menyentuh aspek-aspek keagamaan. Lebih lanjut Freud menyatakan bahwa moralitas digambarkan sebagai tingkah laku irrasional sebab tingkah laku ini hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran sendiri. Jadi dalam hal ini teori Freud tidak mampu mengenal nilai-nilai agama.
5. Paham Behaviorisme
Paham ini di motori oleh B.F. Skinner (lahir 1904). Behaviorisme adalah bentuk radikal dari psikologi objektif yang di kembangkan pertama kali pada abad ke 20, yang menolak semua rujukan kepada intronspeksi, kesadaran dan subjektifitas. Behaviorisme lebih memilih suatu model yang di dasarkan atas pendekatan rangsangan—tanggapan. Suatu pengujian behaviorisme sebagai pandangan sekuler tentang manusia secara pasti melibatkan suatu pembahasan tentang beberapa asumsi mendasar yang terkait dengan fitrah manusia.
Penting untuk di catat bahwa behaviorisme bukan merupakan upaya untuk menjelaskan sifat dasar manusia—sebab behaviorisme tidak percaya bahwa manusia memilki sifat dasar—tetapi lebih merpakan upaya untuk memberikan analisis eksperimental deskriptif tentang apa yang bisa di amati dari perilaku manusia berkenaan dengan perilaku manusia.
Tidak seperti psikoanalisis, behaviorisme memilih untuk mengabaikan proses, peristiwa, dan keadaan-keadaan yang terjadi “di dalam” manusia. Ini semata-mata untuk alasan sederhana bahwa semua itu tidak nyata, tidak bisa di ukur atau di amati secara objektif dan untuk itu tidak termasuk dalam jangkauan kajian ilmiah tentang perilaku.
D. Konsep Fitrah Manusia Dalam Al-Qur’an Dan Hadits
Dalam kegiatan belajar mengajar atau pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya terletak pada potensi (fitrah) yang dianugerahkan Tuhan.
Dalam al-Qur’an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan fitrah muncul sebanyak 20 kali yang tersebar di 19 surat. Secara umum pemaknaan kata fitrah dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat makna yaitu:
1. proses penciptaan langit dan bumi
2. proses penciptaan manusia
3. pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
4. pemaknaan pada agama Allah sebagai pedoman bagi manusia sebagai khalifatullah di muka bumi.
Jika makna fitrah dikaitkan dengan QS. Ar-Rum:30 secara umum dapat dimaknai sebagai potensi manusia untuk beragama (bertauhid). Namun fitrah tidak hanya terbatas pada fitrah keagamaan, karena masih ada ayat-ayat yang menjelaskan tentang potensi manusia walaupun tidak menggunakan fitrah. Misalnya dalam QS. Ali Imran: 14.
Ketika pandangan diatas dikembangkan lebih lanjut dalam tataran pendidikan, para pemikir muslim berusaha mencari definisi lain kata fitrah yang lebih representatif sesuai dengan kemampuan, fungsi dan kedudukan manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Fitrah yang diartikan sebagai potensi yang dimiliki manusia merupakan suatu keterpaduan yang terangkum dalam asmaul husna. Keterpaduan tersebut memberi arti jika Tuhan memiliki sifat al-Ilmu (maha mengetahui), maka manusiapun memiliki potensi untuk bersifat sebagaimana sifat al-Ilmunya (dalam arti kata meneladani sifat-sifat Allah). Namun tidak berarti kemampuan manusia sama tingkatannya dengan kemampuan Allah. Sifat Allah merupakan sifat kemahasempurnaan. Sedangkan potensi manusia merupakan potensi makhluk yang yang mempeunyai keterbatasan. Akibat dari keterbatasan manusia menjadikannya sebagai makhluk yang senantiasa membutuhkan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya pemenuhan semua kebutuhannya.
Konsep manusia dalam islam dapat diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits (QS. Al-Mukminun: 12-16) dan hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah SWT kedalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nutfah, 40 hari darah beku, dan 40 hari mudgah.
Dari ayat dan hadis di atas menjelaskan bahwa manusia tersusun dari dua unsur materi (tubuh) dan immateri (ruh yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa dan daya fikir). Kedua unsur tersebut merupakan sasaran pendidikan yang harus diperhatikan oleh guru dalam setiap proses belajar mengajar. Dengan mengoptimalkan kedua daya tersebut merupakan asas penting dalam proses pendidikan yang bermuara pada perumusan dasar tujuan pendidikan islam.
Hakikat wujud manusia yang lain adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Perkembangan ini dalam teori barat dikenal dengan tiga teori, yaitu: teori nativisme (pembawaan), teori empirisme (pengaruh Lingkungan), dan teori konvergensi (pembawaan dan lingkungan). Dalam islam teori konvergensi inilah yang sesuai dengan sabda nabi SAW:
”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut hadis diatas manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan yang disebut potensi atau fitrah. Fitrah disini adalah pembawaan ayah dan ibu serta lingkungan sebagaimana yang dimaksudkan oleh ahli pendidikan.
Korelasi hadis diatas dengan tujuan pendidikan tersebut harus mengakomodir secara integral kebutuhan manusia, baik unsur jasmani maupun unsur rohani. Senada dengan ungkapan hasan langgulung yang dikutip abudin nata bahwa pendidikan itu harus mendidik fitrah manusia yang baik yang terdiri dari unsur ruh dan badan. Sehingga mengoptimalkan fungsi manusia sebagai khalifah.
E. Implikasi Struktur Fitrah Manusia dan Korelasinya dengan Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan islam didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan diseputar persoalan ini merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan masih belum jelas arahnya. Bahkan pendidikan islam tidak dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran tentang pengembangan individu seutuhnya.
Penjelasan tentang definisi fitrah yang telah dipaparkan diatas yang berhubungan dengan fungsi penciptaan manusia dan hubungannya dengan alam semesta sangat membantu dalam rangka:
1. Karena manusia merupakan makhluk resultan dari dua komponen (jasmani dan rohani), maka manusia menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbyiah dan Aqliyah sehingga mampu menghasilkan generasi muslim yang mumpuni secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen tersebut dipisahkan dalam proses kependidikan islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna (al-Insan al-Kamil).
2. Merumuskan tujuan, materi dan metode pendidikan. Pendidikan Islam harus diarahkan agar manusia memiliki kesabaran dan tanggungjawab sebagai mahluk yang harus beribadah kepada Allah, dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat kelak. Untuk itu manusia harus di didik dengan menggunakan kurikulum yang komprehensif, yaitu kurikulum yang tidak hanya memuat materi pendidikan agama melainkan juga pendidikan umum, karena pendidikan agama dan pendidikan umum itu sama-sama dibutuhkan oleh manusia. Selanjutnya karena manusia sebagai mahluk yang dimuliakan Allah dan memiliki berbagai kecenderungan, maka metode pendidikan harus didasarkan pada sifat-sifat kemanusiaannya, dan menggunakan berbagai cara yang sesuai dengan kecenderungannya.
Pemahaman terhadap potensi berpikir yang dimiliki akal sebagaimana fitrah tersebut memiliki hubungan yang sangat erat dengan pendidikan. Hubungan itu antara lain terlihat dalam merumuskan tujuan pendidikan. Bunyamin S. Bloom dalam bukunya Taksonomi Of Educational Objectiv—sebagaimana di kutip Abuddin Nata—membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain) yaitu: ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tiap-tiap ranah dapat dirinci lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan hierarkis.
Ranah kognitif dan afektif sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari akal. Dalam ranah kognitif terkandung fungsi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada aspek berpikir (tafakkur). Sedangkan dalam ranah afektif terkandung fungsi memperhatikan, nerespon, menghargai, mengorganisasi nilai, dan mengkarakterisasi. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi akal pada aspek mengingat sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Orang yang mampu memprgunakan fungsi berpikir yang terdapat pada ranah kognitif dan fungsi mengingat yang terdapat pada ranah afektif termasuk kategori ulul albab. Orang yang demikian itulah yang akan berkembang kemampuan intelektulnya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta emosinya dan mampu mempergunakan potensinya tersebut untuk berbakti pada Allah dalam arti seluas-luasnya. Manusia yang demikian itulah yang harus menjadi rumusan tujuan pendidikan dan sekaligus diupayakan untuk mencapainya dengan sungguh-sungguh.
Dalam kurikulum pendidikan islam harus diupayakan untuk mencetak manusia yang yang bernilai duniawi-ukhrawi. Oleh kerena itu penyusunan kurikulum harus berorientasi pada pengembangan ke-Tuhan-an, nilai-nilai kemasyarakatan dan alam sekitarnya. Sehingga kurikulum yang disajikan dapat berperan mempersiapkan anak didik dalam fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
3. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan Abd. Untuk melaksanakan dan mengimplementasikan fungsinya dengan optimal manusia dibekali seperangkat potensi (fitrah). Dalam konteks ini maka pendidikan islam harus bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti kemampuan untuk berkreasi yang bermanfaat untuk dirinya dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun Abd.
Implikasi makna fitrah sebagai sifat dasar manusia dan hubungannya dengan pendidikan adalah mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Buah pendidikan islam antara lain, amanah (integralistik), yaitu selaras antara keinginan dan pengetahuan dengan perilaku sabar yaitu sikap tabah, ulet, berani, dan tegar, serta tenggang-rasa. Selain selaras dengan perilaku sabar juga selaras dengan tawaddu, yaitu bersikap rendah hati, husnudzhan (positive thinking), yaitu sikap yang positif dalam memandang orang lain dan menjauhi prasangka buruk; tawakkal, yaitu sikap menyandarkan diri pada Tuhan sehingga tidak mudah putus asa; ikhlas, sikap tulus hanya karena kebenaran dan manfaat; dan taqwa, sikap yang telah menyerap nilai-nilai ketuhanan.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan hawa nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapi dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas kehilangan keseimbangan, karena dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya.
F. KESIMPULAN
Pengajaran pendidikan islam yang paling utama adalah membersihkan, mengingatkan, dan menggugah, serta mengaktifkan (kembali) fitrah tiap manusia, sehingga fitrah itu mampu mempengaruhi dan mengarahkan pola pikir dan perbuatan/tindakan seseorang. Dengan kata lain, tujuan utama pengajaran pendidikan agama adalah menggugah "fitrah insaniyah" dan membantu memunculkan kembali potensi kebaikan yang telah ada di dalam diri tiap orang.
Dalam mengupayakan suatu definisi fitrah hendaknya perlu diingat bahwa fitrah sebagai sifat dasar yang kekal bisa di kaburkan oleh dampak negatif dari lingkungan sosial, politis dan filosofis. Oleh sebab itu manusia harus berpegang kepada wahyu Tuhan untuk mendapatkan petunjuk, bukan saja bagi konsepsi yang tepat tentang fitrahnya, tetapi juga untuk ajaran-ajaran dan perintah yang dimungkinkannya. Islam menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya baik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap fitrah secara utuh, komprehensif dan benar merupakan input yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Islam. Penyelenggara pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir, birokrat, apalagi politisi.
Ibarat tanaman tropis yang tidak dapat tumbuh baik di iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga tidak dapat disamaratakan. Tujuan pendidikan bukanlah menyeragamkan kemampuan murid hingga memahami seluruh muatan pendidikan dan lulus ujian, melainkan mengidentifikasi dan mengembangkan karakter-karakter unggul yang dimiliki peserta didik. Sudah saatnya kita memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia-yang tidak banyak berubah sejak setengah abad yang lalu-untuk lebih menghargai fitrah manusia.
statement trading
readfile('http://banners.instaforex.com/get_banner.php?lang=id&size=468x60&id=282-288&x=ECAW&iframe') ?>?>
DAFTAR ROBO FOREX, GRATIS $15
masukkan kode referal:" ybu " jika keberatan silahkan dikosongin aja
SIGNAL FOREX HARI INI
payooner
ini adalah perusahaan yang menjual produk ksehatan.dengan daftar disini,kita akan dapat kartu kredit payooner gratis langsung di kirim kerumah kita.silahkan mencoba saya sudah mendapatkan kiriman kartu kreditnya.kegunaan kartu kredit tersebut dapat kita gunakan untuk mengaktifkan rekening paypal. silahkan klik dibawah ini.
Sabtu, 26 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
Posting Komentar
masukkan komentar anda